Indonesia adalah negara yang masyarakatnya terdiri dari berbagai etnis dan agama. Dalam sejarah Indonesia, etnis China adalah kelompok masyarakat yang selalu terpinggirkan; sejak zaman penjajahan sampai dengan era reformasi mereka selalu dijadikan tumbal kekuasaan. Namun, tidak berarti mereka tidak mempunyai rasa nasionalisme. Salah satunya tergambar dalam film Gie yang diangkat dari catatan harian seorang mahasiswa beretnis China bernama Soe Hok Gie. Melalui film ini kita bisa melihat nasionalisme seorang etnis China lewat tokoh utamanya, yaitu Gie. Tokoh Gie digambarkan sebagai mahasiswa yang kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah, dengan setting waktu pada tahun 1960-an. Film Gie berhasil memberikan perspektif baru dalam melihat nasionalisme etnis China di Indonesia, memberikan bukti bahwa etnis China sebagai bagian dari masyarakat Indonesia mempunyai rasa nasionalisme yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya. Dalam tulisan ini penulis berusaha menjawab pertanyaan: bagaimana nasionalisme etnis China tergambar dalam film Gie? Film—yang merupakan bagian dari sastra—mempunyai peluang besar untuk menyampaikan pesan mengenai nasionalisme kepada penikmatnya, karena film mempunyai penikmat yang tak mengenal usia.
Kata kunci: Etnis china, Nasionalisme, Soe Hok Gie.
Pendahuluan
Etnis Cina yang kedatangannya diperkirakan telah
datang ke Indonesia berabad-abad yang lalu datang ke bumi Nusantara
sebagai seorang pedagang; hal yang sangat lumrah, mengingat pada masa
lalu berdagang adalah hal yang bisa membuat manusia dari berbagai
penjuru dunia saling berhubungan. Setelah kolonialisasi Belanda atas
Indonesia—atau juga disebut Hindia Belanda—dimulai, Belanda berusaha
untuk membuat pemisahan dalam strata sosial masyarakat pada masa itu.
Menurut Onghokham, Masyarakat Hindia belanda dibagi kedalam tiga
golongan: pertama golongan Eropa atau Belanda, kedua golongan golongan
Timur Asing: termasuk Cina, Arab, India dan seterusnya, ketiga golongan
pribumi (Onghokham 2008: 3). Politik segregasi seperti ini mulai
diterapkan mulai tahun 1854, dengan tujuan awal untuk membedakan
kedudukan hukum masing-masing golongan. Ini mengingatkan kita pada
politik apartheid di Afrika, yang juga sama-sama pernah menjadi koloni
Belanda di masa lalu. Pemisahan-pemisahan seperti ini juga sangat
merugikan kalangan etnis Cina, karena Belanda sering menjadikan mereka
sebagai tameng. Orang-orang Cina dimasa lalu sering dijadikan tuan-tuan
tanah pemungut pajak oleh Belanda, sehingga apabila ada gejolak dalam
masyarakat merekalah yang akhirnya dijadikan tumbal. Hal seperti inilah
yang membuat hubungan etnis Cina dan pribumi selalu tidak harmonis.
Sejarah juga mencatat benturan-benturan antara pribumi dengan etnis Cina
di beberapa kota, diantaranya kerusuhan pernah terjadi di Kudus dan
Tangerang. Ini semakin memperkuat stigma negatif terhadap etnis Cina di
Indonesia. Dalam konteks kekinian, ada semacam redefinisi kelas di
Indonesia; etnis Cina sekarang seolah-olah adalah warga kelas dua, dan
sering dianggap tidak “Indonesia seratus persen.” Sehingga pertanyaan
yang muncul kemudian adalah apakah mereka masih memiliki rasa
nasionalisme terhadap Indonesia? Dalam bentuk apakah rasa nasionalisme
itu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang coba dijawab dalam makalah ini
melalui analisa film Gie. Film Gie adalah alih wahana dari sebuah
catatan harian seorang mahasiswa bernama Soe Hok Gie yang berasal dari
kalangan etnis Cina. Film yang dibuat pada tahun 2005 ini disutradarai
oleh sutradara muda, yaitu Riri Reza, dan diproduseri oleh Mira Lesmana.
Dalam rangka pembuatan film ini, tim produksi juga melakukan riset
sejarah mengenai tokoh Gie ini, bahkan John Maxwell yang pernah menulis
khusus tentang Soe Hok Gie dijadikan konsultan sejarahnya. Ada semacam
upaya serius untuk menghadirkan sosok Gie yang sesungguhnya dalam film
ini. Konflik-konflik antar faksi yang ada pada saat itu ikut tergambar
dalam film ini, dan kita bisa melihat respon Gie atas hal ini. Kajian
yang dilakukan seputar film ini telah cukup banyak dilakukan, beberapa
hal yang dianalisa antara lain mengenai partsipasi politik Tionghoa
dalam film Gie, identitas ke-Cina-an, dan analisa lirk-lirik dari lagu
latar dalam fim ini. Dalam tulisannya, Ariel Heryanto menganggap tokoh
Soe Hok Gie sebagai contoh dari orang Indonesia berperanakan Cina yang
bisa dikatakan sebagai pahlawan aktivis 1960an. Selain itu, pembuat film
ini mencoba untuk membangkitkan kembali optimisme masyarakat Indonesia
setelah reformasi lewat bernostalgia dengan aktivisme pada tahun 1960an
(Heryanto 2008, 84). Film ini banyak disorot sebagai karya yang lahir
setelah reformasi, yang membicarakan sebuah gerakan politik anti
golongan, dan cukup merepresentaikan perjuangan seorang muda yang
berasal dari etnis Cina. Gie—begitu ia biasa dipanggil—sendiri adalah
mahasiswa jurusan sejarah di Universitas Indonesia yang termasuk aktivis
mahasiswa angkatan 66, jadi ia termasuk orang yang ikut menggulingkan
kekuasaan Soekarno pada saat itu. Bahkan John Maxwell yang berasal dari
Australia khusus menulis buku tentang Gie dengan judul Soe Hok Gie,
Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani. Ini menunjukkan ada daya
tarik khusus dalam diri Soe Hok Gie. Melalui tokoh Gie yang ada dalam
film ini juga kita bisa melihat bentuk nasionalisme yang hadir dalam
diri tokoh Gie—baik Gie sebagai bangsa Indonesia maupun sebagai orang
yang berasal dari etnis Cina. Jadi penulis menganggap film ini sangat
menarik untuk dikaji, sehingga kita dapat menangkap pesan berharga yang
ada di dalamnya. Nasionalisme dan Etnis Cina Nasionalisme adalah suatu
ideologi yang meletakkan bangsa dipusat masalahnya, dan berupaya
mempertinggi keberadaannya (Smith 2003: 10). Dari pemahaman tersebut
kita bisa melihat nasionalisme sebagai ideologi yang bertujuan untuk
menjadikan sebuah bangsa bisa eksis dan meletakkan permasalahan bangsa
di atas kelompok atau golongan. Tentu saja nasionalisme akan hadir pada
diri seseorang yang mempunyai keterkaitan dengan bangsa tersebut, tanpa
harus melihat asal-usul orang tersebut. Rasa cinta dan peka terhadap
keadaan bangsa adalah kunci penting dalam nasionalisme. Dalam konteks
Indonesia, sebagai negara yang terdiri dari berbagai etnis dan suku
bangsa, nasionalisme bisa hadir dan tumbuh pada setiap orang, tidak
terkecuali bagi orang yang berasal dari kalangan etnis Cina. Semua orang
mempunyai potensi yang sama dalam menghayati nasionalisme. Nasionalisme
mempunyai banyak bentuk dalam perwujudannya. Setiap zaman dan setiap
keadaan bisa memunculkan bentuk nasionalisme yang berbeda. Pada zaman
perang kemerdekaan, dengan ikut berperang bisa dikatakan sebagai
perwujudan dari rasa nasionalisme. Tetapi setelah zaman kemerdekaan,
dengan menjadi wakil Indonesia di ajang olah raga internasional atau
wakil Indonesia untuk olimpiade matematika bisa juga dikatakan sebagai
perwujudan rasa nasionalisme. Jadi, perwujudan rasa nasionalisme tidak
hanya berbentuk perjuangan politik semata. Ini semua juga berlaku pada
kalangan etnis Cina. Sejarah juga mencatat keterlibatan mereka dalam
proses kemerdekaan, walaupun tidak banyak orang yang berusaha
mengingatnya. Kesadaran politik etnis Cina sebenarnya telah lama tumbuh,
setidaknya politik segregasi yang diterapkan oleh Belanda disinyalir
sebagai salah satu faktor yang membangkitkan perlawanan secara politis.
Walaupun mereka ditempatkan pada kelas kedua dalam strata sosial
masyarakat Hindia Belanda pada saat itu, ternyata secara hukum mereka
dirugikan (Benny G. Setiono 2004: 460-461). Ketidakadilan yang dialami
oleh etnis Cina pada saat itu telah membangkitkan perlawanan yang
bersifat politis, dengan tidak mengatasnamakan sebagai orang yang
berasal dari rasa tau etnis tertentu, namun atas nama kelompok yang
menjadi bagian dari penduduk Hindia Belanda. Nasionalisme yang
mensyaratkan adanya rasa cinta terhadap negara mulai tumbuh dalam diri
mereka. Dalam perkembangannya, orang-orang yang berasal dari etnis Cina
ikut terlibat dalam proses awal kemerdekaan Indonesia, sehingga kita
bisa menemukan beberapa nama dari kalangan etnis Cina yang menjadi
mentri dimasa kepemimpinan Soekarno. Dalam bidang politik, posisi etnis
Cina sangat tidak diuntungkan. Seperti yang dikatakan oleh Charles. A
Coppel, bahwa etnis Cina diibaratkan memakan buah simalakama. Jika
mereka terlibat dalam politik kalangan oposisi, mereka dicap subversif.
Apabila mereka mendukung penguasa waktu itu, mereka dianggap oportunis.
Bila mereka menjauh dari politik, mereka juga dianggap oportunis, sebab
mereka akan dikatakan hanya mencari keuntungan belaka (Coppel 1994: 53).
Disini etnis Cina benar-benar terlihat sangat tidak bebas menentukan
pilihan secara politis. Imbas dari politik segregasi yang diterapkan
oleh Belanda di masa lalu masih terinternalisasi dalam masyarakat
Indonesia—ada kesan etnis Cina selalu dicurigai segala gerak-geriknya.
Kebijakan-kebijakan penguasa turut membuat mereka hanya “terpojok” dalam
satu dunia saja, yaitu dunia bisnis. Mereka tidak mempunyai kesempatan
yang sama seperti etnis-etnis lain yang ada di Indonesia untuk ikut
merasakan dunia lain selain bisnis—misalnya kita hampir tidak menemukan
mereka dalam dunia militer. Sehingga ketika terjadi krisis moneter pada
tahun 1998 mereka menjadi tumbal, karena dianggap menghancurkan ekonomi
Indonesia. Setelah reformasi bergulir, mereka mencoba untuk masuk
kembali ke dalam dunia politik dengan ide mendirikan sebuah partai yang
mengatas namakan etnis Cina atau Tionghoa. Ini adalah salah satu usaha
untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagai bagian dari rakyat
Indonesia. Walaupun beberapa kalangan yang berasal dari etnis Cina
sendiri menolak gagasan ini, namun ini bisa dianggap sebagai usaha
mereka untuk ikut andil dalam membangun bangsa lewat jalur politis. Hal
ini bisa juga dilihat sebagai usaha untuk merebut kembali hak politik
mereka setelah sekian lama terabaikan. Apabila kita cermati lebih dalam,
sebenarnya etnis Cina telah banyak memberikan sumbangsih kepada
Indonesia lewat jalur olah raga, khususnya pada cabang bulu tangkis.
Nama-nama seperti Rudi Hartono, Liem Swi King, Alan Budi Kusuma, dan
Susi Susanti yang telah mengahrumkan nama Indonesia di pentas dunia,
sebenarnya sudah bisa dijadikan sebagai bukti dari rasa nasionalisme
dalam bentuk yang lain—karena sebagai atlit yang mempunyai prestasi
dnuia, bisa saja mereka membela negara lain dengan cara berganti status
warga negara. Ini adalah bentuk lain dari perwujudan rasa nasionalisme
kepada sebuah bangsa. Kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia harus
bisa mengakui dan mencatat ini sebagai bagian dari perwujudan rasa
nasionalisme rakyat Indonesia. Nasionalisme dalam Film Gie Nasionalisme
mengharuskan rasa cinta yang mendalam kepada negara yang dicintainya,
dan rasa cinta ini tentu saja memiliki banyak bentuk. Dengan
kritik-kritik yang tajam terhadap pemerintah pada saat itu, sebenarnya
tokoh Gie telah menunjukkan rasa nasionalismenya terhadap Indonesia.
Tokoh Gie digambarkan sebagai orang yang idealis dan tidak bisa
berkompromi dengan hal yang menurutnya salah. Ia tidak menyukai
perjuangan-perjuangan yang didasari atas semangat kelompok dan golongan.
Menurutnya, perjuangan harus didasari oleh kebenaran dan keadilan.
Simbol-simbol perjuangan, kekuasaan, kemegahan direpresentasikan lewat
adegan-adegan, simbol-simbol, dan setting yang terdapat dalam film ini.
Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa saat menuntut turunnya Soekarno
digambarkan dengan penuh semangat perjuangan: bendera merah putih yang
dibawa oleh demonstran, spanduk-spanduk yang berisi berbagi tuntutan
kepada pemerintah, long march yang dilakukan saat demonstrasi, dan
ditambah dengan latar musik tentang revolusi. Kekuasaan digambarkan
dengan kemewahan dan kemegahan istana presiden Soekarno, dengan pakaian
yang gagah, Soekarno digambarkan sebagai seorang presiden yang sangat
berkuasa saat itu. Sebaliknya, film ini juga menggambarkan masyarakat
yang semakin miskin karena keadaan yang kacau—seperti dalam adegan
seorang laki-laki yang sedang memakan buah dari sebuah tempat sampah.
Ini jelas sebuah ironi yang coba ditampilkan dalam film ini; sebuah
kemewahan dan kemegahan istana dengan kondisi rakyat yang miskin. Dengan
latar sosial seperti inilah Gie hidup dan bergulat dengan
pemikiran-pemikirannya. Kondisi sosial di sekitarnya membuat ia semakin
berfikir dan bertindak kritis kepada pemerintah pada saai itu. Tokoh Gie
dikenal sebagai orang yang tidak bisa berkompromi dengan hal yang ia
anggap salah, bahkan ketika masih di sekolah ia berani untuk mendebat
guru sastranya karena ia menganggap pendapatnya itu salah. Karena
tindakannya itu ia tidak bisa naik kelas. Walaupun ibunya menyarankan
untuk mengulangnya, ia tetap saja tidak bisa menerima dan meminta untuk
pindah ke sekolah yang lain. Ia menolak untuk tinggal kelas, karena ia
menganggap kritik yang ia sampaikan bukan merupakan sebuah kesalahan.
Gie berkata pada ibunya: “Ga bisa ma, saya yakin nilai-niai saya baik,
saya jauh lebih pintar dari anak-anak yang lain. Ini pasti karena guru
dendam pada saya.” Lalu ibunya berkata: “Sudah lah Gie, kamu mengulang
saja, pa Can bilang masih bisa mengulang, belum rugi umur.” Tapi
langsung dipotong oleh Gie: “Ga bisa ma. Sekarang begini, mama percaya
sama saya ga? Saya bisa, saya pintar, saya banyak membaca, mama percaya
ga?” “Pokoknya saya ga mau mengulang! Carikan saya sekolah yang lain,
saya buktikan nanti.” Dalam hatinya Gie berkata: “Kalau angkaku ditahan
oleh model guru yang tak tahan kritik, aku akan mengadakan koreksi
habis-habisan, aku tidak mau minta maaf!” Pada sekuen yang lain terlihat
juga pandangan Gie yang melihat demokrasi terpimpin sebagai hal yang
otoriter, ini terlihat dalam adegan saat diskusi kelas: “Jadi menurutmu
demokrasi terpimpin sama sekali bukan demokrasi?” Tanya sang guru. Lalu
Gie menjawab: “Jelas pak! Lihat apa yang terjadi dengan pers akhir-akhir
ini, seperti Indonesia Raya atau Harian Rakyat. Saya bukan simpatisan
komunis, tetapi apa yang terjadi terhadap Harian Rakyat adalah contoh
pelanggaran terhadap demokrasi. Kita seolah-olah merayakan demokrasi,
tetapi memotong lidah orang-orang yang berani menyatakan pendapat, yang
merugikan pemerintah. Mereka yang berani menyerang koruptor-koruptor,
mereka semua ditahan. Lihat apa yang terjadi dengan Mochtar Lubis,
menurut saya itu adalah tanda-tanda kediktatoran.” Dalam dialog-dialog
diatas jelas terlihat karakter Gie yang tidak bisa berkompromi dengan
sesuatu yang ia anggap salah. Ada keyakinan dalam diri Gie, bahwa semua
orang, tanpa melihat status, harus bisa menerima kritik dari orang lain.
Karakter seperti ini yang dikemudian hari membuat ia terus bersifat
kritis terhadap pemerintah. Dengan bersifat kritis terhadap segala
kebijakan pemerintah, bukan berarti ia tidak cinta kepada negaranya,
namun sebaliknya, ini malah menunjukkan rasa cintanya kepada negara.
Karena cinta kepada negara berarti mengaharapkan yang terbaik untuk
negara, inilah perwujudan dari rasa nasionalisme. Kondisi sosial
masyarakat Indonesia yang kacau di awal 1960an dengan ditandai kekacauan
politik dan kenaikan harga cukup meresahkan jiwa Gie. Ia menganggap
seorang intelektual harus bisa berbuat sesuatu bagi negaranya. Ini
terekam dalam dialog ketiaka ia sedang berdiskusi dengan teman-temannya:
“Bidang seorang sarjana adalah berfikir dan mencipta yang baru, mereka
harus bisa bebas disegala arus-arus masyarakat yang kacau. Tetapi mereka
tidak bisa lepas dari fungsi-fungsi sosialnya, yakni bertindak demi
tanggung jawab sosialnya apabila keadaan telah mendesak. Kaum
intelegensia yang terus berdiam di dalam keadaan yang mendesak telah
melunturkan sebuah kemanusiaan.” Dialog ini juga menekankan sisi praxis
dari kaum intelektual. Fungsi-fungsi sosial harus bisa dilaksanakan oleh
mereka: masyarakat akan sangat membutuhkan bantuan seorang intelektual
agar bisa keluar dari keterpurukan. Oleh karena itu, Gie sendiri
akhirnya turun ke jalan untuk berdemonstrasi, sebagai bentuk dari fungsi
sosial seorang intelektual. Bagi Gie berjuang harus atas nama keadilan
dan kemanusiaan, tidak atas dasar segelintir kelompok atau golongan. Ia
pernah menolak ajakan kawannya, yaitu Jaka, yang mengajaknya bergabung
ke dalam organisasi PMKRI (Persatauan Mahasiswa Katolik Republik
Inonesia), karena Jaka tahu Gie adalah seorang Katolik. Penolakan ini
tentu saja didasari oleh keyakinannya untuk berjuang atas nama
kemanusiaan dan di atas semua golongan. Kelompok-kelompok seperti inilah
yang dikemudian hari mendapat “jatah” di parlemen. Pada salah atau
adegan setelah pemutaran film Jaka menghampiri Gie dan bertanya “lu tuh
‘kiri’ apa ‘kanan’ sih Gie?” Sontak saja Gie terkaget-kaget, seolah-olah
perjuangan itu harus berpihak pada salah satu kelompok ‘kiri’ atau
‘kanan’. Jaka pada awalnya adalah salah satu teman dekat Gie, tetapi
setelah peristiwa penolakan Gie untuk bergabung dengan PMKRI mereka
menjadi jauh. Dalam film ini juga digambarkan kebertolak belakangan
jalan mereka dalam berjuang; dalam adegan demonstrasi tergambar Gie dan
Jaka yang saling menatap namun berjalan ke arah yang berlawanan. Gie
berdemonstrasi atas nama senat mahasiswa sastra UI, sebaliknya Jaka atas
nama PMKRI. Gie melihat politik partai dan golongan telah memasuki
kampus, organisasi mahasiswa yang besar seperti GMNI, HMI, sampai yang
terkecil PMKRI bergerak dan berteriak atas nama golongan. Ia benar-benar
tidak simpati dengan semua ini, yang menjadi harapannya adalah
mahasiswa tersebut mengambil keputusan atas dasar kebenaran, bukan atas
dasar agama, ormas atau golongan apapun. Oleh karena itu, saat menjelang
pemilihan senat mahasiswa sastra, ia berusaha untuk membujuk sahabatnya
Herman Lantang untuk mengajukan diri sebagai calon ketua. Ia tahu bahwa
Herman dianggap orang yang tidak punya keberpihakan politik, hal ini
yang dianggap kelebihan dari diri seorang Herman, dan tidak dimiliki
oleh calon-calon lain. Dengan tidak mempunyai keberpihakan politik,
berarti bisa menjaga independensi perjuangan. Walaupun begitu, ia tetap
mendorong sikap kritis terhadap pemerintah. Dalam salah satu dialog ia
berkata kepada Herman: “Kita isi aja kegiatan senat dengan kegiatan yang
kita suka, musik, nonton film, naik gunung. Tapi, sekali-kali kita
harus hantam pemerintah tentunya.” Gie sendiri pernah berkata tentang
manifesto politik pembaharuannya: “Setelah kemerdekaan tercapai,
kenyataan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari tujuan. Kita melihat
dengan penuh kecemasan bahwa pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan
kini telah membawa bangsa Indonesia kepada keadaan yang sangat
mengkhawatirkan. Diktator perseorangan yang berkuasa bukan lagi
merupakan bahaya diambang pintu, tetapi telah menjadi suatu kenyataan.
Cara-cara kebijaksanaan negara dan pemerintahan bukan saja bertentangan
dengan azas-azas kerakyatan dan musyawarah, bahkan menindas dan
memperkosanya. Jelas sudah bagi kita bahwa istilah demokrasi terpimpin
dipakai sebagai topeng belaka, justru tidak lain untuk menindas dan
menumpas azas-azas demokrasi itu sendiri. Tiba saatnya bagi patriot
Indonesia untuk bangkit menggalang kekuatan dan bertindak menyelamatkan
bangsa dari jurang malapetaka.” Dari manifesto politiknya ini, kita bisa
melihat Gie dengan sadar telah melihat keadaan yang terus memburuk, dan
jelas telah jauh dari cita-cita kemerdekaan. Pemimpin negara yang telah
menjadi seorang diktator dianggap sebagai salah satu penyebab dari
semua keterpurukan rakyat. Ia mengakui bahwa manifestonya ini tidak jauh
berbeda dengan manifesto politik pak Mitro, seorang tokoh yang ia
anggap sebagai seorang idealis yang harus terasing ke luar negeri. Ia
terlihat sebagai orang yang lebih suka berdiri dibelakang menyusun
strategi, dari pada menjadi pemimpin organisasi. Pada salah satu adegan,
saat mereka naik gunung, Herman pernah bertanya kepada Gie mengenai
perjuangan dan perlawanannya: “Gie, gua lama pengen tanya sama lu.
Sebenarnya untuk apa sih perlawan ini semua?” Lalu Gie menjawab: “Iya.
Gua jadi ingat temen kecil gua Man, di Kebun Jeruk. Dulu dia juga nanya
sama gua, kenapa gua selalu jadi tukang protes? Padahal hidup gua lebih
baik dari dia. Sekarang gini Man, kita punya pemimpin, kita punya bapak
yang kita akui sebagai founding father di negeri ini, tapi buat gua
bukan berarti dia punya kekuasaan absolut untuk menentukan hidup kita,
nasib kita. Apalagi kalau kita sadar ada penyelewengan, ketidak adilan.
Kalau kita hanya menunggu, menerima nasib, kita tidak akan pernah tahu
kesempatan apa yang sebenarnya kita miliki dalam hidup ini.
Sederhanyanya, gua cuma ingin perubahan, supaya hidup kita lebih baik.
Satu-satunya cara Soekarno harus jatuh!” Dalam dialog ini Gie berusaha
untuk mengatakan alasan tentang segala sikap kritisnya. Terlihat sekali
keinginannya untuk bisa melihat Indonesia menjadi lebih baik, bukan
sebuah sikap yang mengaharapkan pamrih, apalagi oportunis. Ia juga
menekankan untuk segera merubah bangsa nasib dengan tangan kita sendiri,
karena kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya. Setelah
kejadian G30SPKI, kekerasan terhadap PKI terjadi dimana-mana. PKI
sedemikian dibenci, seakan darah mereka halal untuk dibunuh. Entah
kenapa etnis Cina ikut terbawa-bawa dalam peristiwa itu, seperti dalam
salah satu adegan terdapat bacaan di dinding “PKI andjing! Tjina
andjing!” Timbul kesan seolah-olah seorang PKI boleh dibunuh, apalagi ia
berasal dari etnis Cina. Disini lagi-lagi etnis Cina dijadikan sebagai
tumbal. Gie tidak setuju dengan pembantaian-pembantaian itu, ia
menganggap kemanusiaan harus menjadi tolak ukur setiap perbuatan. Ia
sendiri bukan simpatisan PKI, namun PKI yang dianggap sebagai musuh
bersama pada saat itu tidak patut untuk diperlakukan secara biadab dan
tidak berprikemanusiaan. Jatuhnya Soekarno dan masuknya aktivis-aktivis
mahasiswa untuk menjadi anggota parlemen cukup merisaukan Gie, karena
ternyata para aktivis-aktivis itu dianggap telah berkhianat terhadap
nilai-nilai perjuangan. Gie menyebutnya dengan istilah “penghianatan
intelektual”. Mereka yang telah masuk dalam lingkaran kekuasaan kemudian
berubah secara drastis. Pada tahun 1966 pemerintah melakukan perubahan
parlemen, anggota-anggota yang yang pro komunis dan pro Soekarno
diganti, dan saat itu terdapat tiga belas pemimpin mahasiswa dalam
parlemen. Sebagai anggota, mereka punya hak yang sama dengan
anggota-anggota lain. Beberapa tokoh mahasiswa yang sebelumnya melarat
tiba-tiba punya mobil bagus, mondar-mandir ke luar negeri dan dijebak
golongan pemilik modal. Seperti yang tergambar dalam dialog antara Jaka
dan Gie ketika bertemu disuatu tempat, pada saat itu ia melihat Jaka
dengan mobil barunya: Jaka menghampiri Gie dan berkata: “Gua tau betul
apa yang terlintas di kepala lu Gie, gua ga perlu dengan semua pendapat
lu Gie, gua berhak memilih dimana gua harus berjuang.” Lalu Gie memotong
pembicaraannya, dan berkata: “Gua ngerti cita-cita lu, mungkin sama
juga dengan cita-cita gua, tapi semoga dengan apa yang lu perjuangkan ga
luntur dengan diplomasi-diplomasi dan lobi-lobi untuk mempertahankan
posisi lu disana.” Ketakutan Gie akan hilangnya nilai perjuangan untuk
membawa Indonesia kepada keadaan yang lebih baik sangat terlihat disini.
Nilai-nilai idealisme kaum muda yang sebelumnya menjadi ruh perjuangan,
lambat laun bisa hilang dengan masuknya mereka ke dalam lingkaran
kekuasaan. Dengan menggadaikan idealisme perjuangan, Gie menyebut ini
sebagai bagian dari penghianatan intelektual. Seperti yang ia katakana
sebelumnya bahwa seorang intelektual mempunyai fungsi sosial, yang
berarti harus bisa merasa peka terhadap keadaan rakyat.
Penutup
Nasionalisme yang menjunjung kepentingan bangsa
diatas kepentingan golongan atau kelompok coba dihadirkan dalam sosok
Soe Hok Gie dalam film Gie. Sebagai orang yang berasal dari kalangan
etnis Cina, ia tidak pernah berjuang atas nama etnis Cina ataupun agama
yang ia anut. Bagi tokoh Gie, rasa nasionalisme itu adalah perjuangan
yang tidak berpijak atas dasar nama golongan, berjuang bisa tetap
dilakukan dengan tanpa menjadi bagian dari kelompok tertentu saja. Ia
pernah menolak ajakan temannya untuk bergabung bersama PMKRI yang
merupakan wadah bagi mahasiswa Katolik seperti dirinya. Film ini juga
menunjukkan kepada kita bahwa setiap orang yang menjadi bagian dari
Indonesia mempunyai potensi yang sama untuk menunjukkan rasa cintanya
kepada negara, terlepas dari asal-usul orang tersebut. Etnis Cina yang
selama ini dianggap sebagai kelompok yang hanya mementingkan diri dan
kelompoknya sendiri, coba ditepis oleh film ini. Ini memberikan
kesempatan pada kita untuk memberikan stereotype yang baru terhadap
etnis Cina, dengan tidak lagi mengacu pada stereotype negatif. Lewat
dialog-dialog dan adegan-adegan yang terdapat dalam film ini, kita bisa
melihat sosok Gie yang kritis terhadap keadaan sekitarnya. Sering sekali
tulisan-tulisannya mengandung kritik yang tajam, sehingga bagi beberapa
pihak ini kurang menyenangkan, akibatnya ia sering tidak disukai. Sisi
kemegahan penguasa dan kemelaratan rakyat pada saat itu ikut dihadirkan
dalam film ini. Simbol kebangsaan dan perjuangan bisa kita temukan lewat
bendera merah putih dan spanduk-spanduk yang dibawa oleh para
demonstran. Film Gie ini kembali mengingatkan kita akan pentingnya
sebuah perjuangan. Cita-cita Soe Hok Gie untuk melihat Indonesia yang
bersih dari korupsi dan kehidupan politik yang tidak berpihak pada
golongan, rasa tau agama. Selain itu, film ini berusaha mengingatkan
kita untuk selalu menjalankan fungsi sosial sebagai seorang intelektual,
dan memberikan kita “warning” untuk tidak melakukan penghianatan
intelektual. Menghidupkan kembali tokoh Soe Hok Gie berarti menyalakan
kembali api perjuangan untuk melawan ketidak adilan.
0 komentar:
Posting Komentar